riuh serempak penarik 14 gerobak 1,6 – 3 ton. akajishi, aojishi, urashima taro to kame, minamoto yoshitsune no kabuto, tai, hoomaru, hiryu, kinjishi, takeda shingen no kabuto, uesugi kenshin no kabuto, shutendouji to minamoto yoritmitsu no kabuto, tamatorijishi, shachi, shichihoumaru. bentuk naga, ikan, kura-kura, topeng perang, singa dan perahu.
saya menikmati karatsu kunchi, dilakukan sejak > 1250 tahun lampau, diantara angin dingin yang mulai merontokkan daun-daun kering, diantara geliat anak muda dengan dandanannya, diantara gedung dan tiang reklame produk-produk terkenal negeri seribu topan badai ini.
semua usia terlibat. orang tua sudah pasti. anak-anak pun turut menarik. sebagain tenggelam dalam gerobak. menabuh gendang meniup seruling. sesekali menebar garam, menyemangati perang. mengangkat ikatan kain-kain menyerupai bendera. enya…enya…enya!, mengaliri jalanan sempit karatsu selama 3 hari. dan saya mengalir dengan orinoco-nya enya versi techno dj tiesto di biru langit sejuk. mengagumi para pecinta seni cahaya dengan senjatanya. digital, negative, slide, medium format berbaur satu, berdiri diatas tangga-tangga segitiga. Menangkap suasana mengolah rasa. dan jajanan pinggir jalan yang menggiurkan itu.
menyandingkan kebudayaan leluhur dengan kemajuan teknologi modern. kiranya begitu kata mutiara negeri ini. siapapun tidak bisa menyangkal kedahsyatan kemajuannya. namun masih ditemukan kuratsu yang mengisi sela-selanya. mengingat lama yang luhur, menciptakan baru yang manjur.
dan saya teringat janger 1897 saka-geger gelgel-guruh gypsi: kalau kawan tak hati-hati bisa punah budaya asli, kalau punah budaya asli, harga diri tak ada lagi
apakah negeri ini hati-hati?
satu episode mimpi diatas kereta mengantarkan saya pada sebuah festival internasional. berharap menghabiskan hari bersama wirna warni balon udara. berdesak-ribuan-berharap cemas antara tiupan angin, matahari sore, dan kelebat bendera peserta. dimanakah merah putih-ku?
angin kencang mengecawakan. atas nama hati-hati. tidak mengguman tidak menggaduh. desakkan gerbong terakhir mari nikmati. kembalilah bersama kembang hati, semangat padi, nyanyian bunga.
dan aku menanti.
saya menikmati karatsu kunchi, dilakukan sejak > 1250 tahun lampau, diantara angin dingin yang mulai merontokkan daun-daun kering, diantara geliat anak muda dengan dandanannya, diantara gedung dan tiang reklame produk-produk terkenal negeri seribu topan badai ini.
semua usia terlibat. orang tua sudah pasti. anak-anak pun turut menarik. sebagain tenggelam dalam gerobak. menabuh gendang meniup seruling. sesekali menebar garam, menyemangati perang. mengangkat ikatan kain-kain menyerupai bendera. enya…enya…enya!, mengaliri jalanan sempit karatsu selama 3 hari. dan saya mengalir dengan orinoco-nya enya versi techno dj tiesto di biru langit sejuk. mengagumi para pecinta seni cahaya dengan senjatanya. digital, negative, slide, medium format berbaur satu, berdiri diatas tangga-tangga segitiga. Menangkap suasana mengolah rasa. dan jajanan pinggir jalan yang menggiurkan itu.
menyandingkan kebudayaan leluhur dengan kemajuan teknologi modern. kiranya begitu kata mutiara negeri ini. siapapun tidak bisa menyangkal kedahsyatan kemajuannya. namun masih ditemukan kuratsu yang mengisi sela-selanya. mengingat lama yang luhur, menciptakan baru yang manjur.
dan saya teringat janger 1897 saka-geger gelgel-guruh gypsi: kalau kawan tak hati-hati bisa punah budaya asli, kalau punah budaya asli, harga diri tak ada lagi
apakah negeri ini hati-hati?
satu episode mimpi diatas kereta mengantarkan saya pada sebuah festival internasional. berharap menghabiskan hari bersama wirna warni balon udara. berdesak-ribuan-berharap cemas antara tiupan angin, matahari sore, dan kelebat bendera peserta. dimanakah merah putih-ku?
angin kencang mengecawakan. atas nama hati-hati. tidak mengguman tidak menggaduh. desakkan gerbong terakhir mari nikmati. kembalilah bersama kembang hati, semangat padi, nyanyian bunga.
dan aku menanti.