Saya kembali ke tempat ini, daerah becek seluas lk 500m2 yang ditimbun, setelah beberapa minggu berlalu. "Di Sempaja...hah...sepiii". Begitulah menurut mereka. Event yang ramai sama dengan pemasukan yang baik. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain, kini mereka kembali ke Sangatta, mendirikan kembali wahana-wahana permainan rakyat bertiket flat 5000 rupiah, sebelum melanjutkan perhelatan di Sangkulirang dan Muara Wahau. Bagi beberapa orang, mungkin nama kota-kota kecil itu tidak tergambar jelas di peta nasional. Begitulah adanya.
"Dulu cuma satu. Keliling Indonesia, sampai ke Ambon dan Timika. Pernah juga saya ikut ke Bima, Raba... Sekarang sudah ada masing-masing. Di Sumatra ada satu, Kalbar satu, Irian satu, sama di Kaltim sini satu. Yang punyanya sama..".
Sore itu masih terlihat lenggang. Selepas isya barulah ramai. Saya berkenalan dengan Rusli, yang mengaku sebagai koordinator pasar malam. "Yah...biar ramai lah....biar masyarakat ada hiburan". Saya setuju. Karena hiburan itu perlu. Ditengah hutan pula. Dan menciptakan transaksi ekonomi lainnya juga. Produk cetakan ber-Aura Kasih, Fredy S, 7 pahlawan revolusi lengkap dengan foto para jendralnya yang berseragam militer gagah sekali, nama buah-buahan beserta teks berbahasa inggris yang katanya bisa membantu memperlancar penguasaan bahasa, digelar bersama produk-produk lainnya seperti bahan tontonan yang tidak berlisensi dan jam tangan yang tentu saja imitasi. Tidak ketinggalan semangkuk bakso yang mengklaim bisa menggoyang lidah.
Obrolan mengalir begitu saja. Mulai dari soal kehilangan 2 jerapah dan 3 kuda yang kakinya patah karena penumpang yang kelebihan bobot, jadwal cuti ke Kediri tempat dimana mayoritas dari mereka berasal, sampai tong setan yang dikirim si bos ke Sumatra yang entah kapan akan kembali.
20180620
6 years ago